Oleh: Rudy Marjono, S.H.
Praktisi Hukum, Owner RM & Partners Law Office – Jakarta
MEDIAJEMBER.COM – Korupsi masih menjadi momok menahun di negeri ini. Ia tidak hanya tumbuh subur, tapi juga nyaris melembaga dalam budaya kekuasaan.
Yang lebih menyakitkan, para pelaku korupsi masih bisa menikmati hasil kejahatannya karena negara belum memiliki mekanisme efektif untuk merampas aset haram tersebut.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pun hadir sebagai harapan besar publik. RUU ini diyakini bisa menutup celah impunitas dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
Sayangnya, hingga kini pembahasannya masih mandek. Pemerintah dan DPR terus melempar bola panas—tanpa ada keberanian politik nyata.
Padahal, regulasi semacam ini bukan hal baru. Banyak negara maju sudah lebih dulu menerapkan pendekatan non-conviction based asset forfeiture—perampasan aset yang asal-usulnya tidak dapat dibuktikan secara sah, tanpa menunggu vonis pidana.
Dalam konteks Indonesia, mekanisme ini bisa diberlakukan lewat prinsip pembuktian terbalik, yang sudah diakui dalam UU Tipikor dan diperkuat Mahkamah Konstitusi.
Ketakutan Jadi Penghambat
Kenapa DPR tampak enggan membahasnya? Jawaban jujurnya adalah ketakutan.
Banyak elite merasa terancam karena RUU ini membuka kemungkinan penindakan sebelum ada putusan pengadilan.
Tak heran jika kemudian muncul lobi politik, tekanan kekuasaan, hingga dalih pelanggaran HAM untuk menghambat pengesahannya.
Yang luput dari perhatian adalah kerugian negara yang terus membengkak. Data KPK dan BPK menunjukkan bahwa nilai kerugian akibat korupsi seringkali jauh lebih besar dibandingkan aset yang berhasil dikembalikan.
Tanpa RUU ini, penegakan hukum hanya menjadi formalitas. Koruptor masuk penjara sebentar, tapi uangnya tetap utuh.
Penting untuk Efek Jera dan Keadilan
RUU Perampasan Aset penting bukan hanya untuk memberi efek jera, tapi juga menunjukkan keberpihakan negara. Bahwa kekayaan hasil kejahatan bukanlah hak, melainkan beban yang wajib disita untuk kepentingan publik.
Sebagai praktisi hukum dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, saya menilai bahwa RUU ini adalah ujian nyata bagi nyali negara.
Apakah pemerintah dan DPR berani menyentuh kantong para koruptor, atau justru terus menunda demi melindungi ketakutan sendiri?
RUU ini harus segera disahkan. Tidak ada alasan logis untuk takut mengejar uang rakyat yang digelapkan.
Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Justru kekuasaan lah yang harus tunduk pada hukum.
“RUU ini bukan sekadar instrumen hukum. Ini adalah pernyataan keberpihakan negara—apakah berpihak pada rakyat atau pada para pengemplang uang negara.”