Mediajember.com – Kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Ironisnya, banyak pelaku justru hanya dijerat dengan pasal ringan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 352 yang mengatur penganiayaan ringan.
Hal ini memicu kritik dan polemik dari berbagai kalangan hukum dan pemerhati anak.
Pasal 352 KUHP menyebut bahwa pelaku penganiayaan ringan dapat dipidana maksimal tiga bulan.
Pasal ini biasanya digunakan untuk kasus kekerasan fisik ringan tanpa rencana.
Menurut Advokat dari RM & PARTNERS LAW OFFICE Rudi Marjono, ketika korbannya adalah anak di bawah umur, penerapan pasal ini dinilai tidak relevan.
Karena mengabaikan perlindungan khusus yang seharusnya diberikan kepada anak.
“Jika yang menjadi korban adalah anak, maka seharusnya digunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Hukum khusus harus mengesampingkan hukum umum, sesuai asas lex specialis derogat legi generali,” ujar Rudy Marjono.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak—yang merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002—secara tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
Dalam Pasal 80 disebutkan bahwa pelaku bisa dikenakan hukuman yang jauh lebih berat, terutama jika kekerasan tersebut menyebabkan luka berat atau bahkan kematian.
Lebih lanjut, untuk itu aparat penegak hukum diharapkan tidak hanya berfokus pada unsur luka fisik.
Namun juga harus mempertimbangkan aspek psikologis dan perkembangan mental anak yang bisa terganggu akibat kekerasan.

Trauma jangka panjang dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan merusak masa depan mereka.
“Penegakan hukum tidak cukup hanya fokus pada luka yang terlihat. Harus ada perlindungan utuh, termasuk dari sisi psikologis anak,” tambahnya.
Penggunaan pasal ringan dalam KUHP terhadap kasus penganiayaan anak dikhawatirkan melemahkan efek jera dan memberi sinyal keliru kepada masyarakat.
“Kita tidak hanya bicara soal sanksi, tetapi juga tentang efek jera dan pesan moral bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi,” tegas Rudi.
Melihat dari sisi hukum dan moral, jelas bahwa penganiayaan terhadap anak tidak semestinya hanya dijerat dengan pasal penganiayaan ringan.
Undang-undang perlindungan anak harus menjadi acuan utama untuk menegakkan keadilan dan menjamin masa depan anak-anak Indonesia yang lebih aman.
Negara wajib hadir memberi perlindungan maksimal kepada anak-anak sebagai generasi penerus.
Menurut Rudi, penting bagi sistem peradilan untuk memastikan bahwa pelaku kekerasan anak di bawah umur dihukum sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Dan anak mendapatkan perlindungan hukum yang optimal.
“Ini bukan sekadar soal menghukum pelaku, tapi juga soal komitmen negara melindungi anak-anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan,” pungkas Rudi Marjono.
Penulis : Heri Santoso