Wisata Kebudayaan Jember

waktu baca 5 menit
Kamis, 8 Mei 2025 06:59 18 Media Jember

Can Macanan Kaduk

Harimau Besar dari Karung Goni – Can Macanan Kaduk. Inilah seni tradisi di Jember yang masih dipertahankan sangat kuat oleh para pegiat komunitas kesenian. Tak ada yang bisa memastikan bagaimana dan kapan Can Macanan Kaduk hadir pertama kali di bumi Jember. Namun ini adalah refleksi kehidupan masyarakat perkebunan, tentang bagaimana mereka menjaga kebun dari hewan liar.

Can Macanan Kaduk bisa diartikan secara bebas sebagai harimau yang terbuat dari karung goni. Sepintas Can Macanan Kaduk mirip dengan tarian Barongsai Tionghoa. Satu kelompok membutuhkan setidaknya 45-50 orang untuk sekali pentas. Ini menunjukkan betapa budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain saling mempengaruhi di Indonesia. Seni tradisi adalah representasi kekuatan dan harmoni dalam masyarakat Indonesia.

Salah satu kelompok Can Macanan Kaduk yang masih terus berupaya bertahan di tengah gerusan modernitas adalah Bintang Timur. Kelompok ini berdiri tahun 1974 di kawasan Tegalboto. Mempertahankan seni tradisi ini, para anggota beberapa kelompok Can Macanan Kaduk menggelar semacam arisan yang memungkinkan mereka tetap berkesenian secara rutin dua pekan sekali. Para anggota ini memiliki loyalitas dan dedikasi. Mereka berasal dari beragam latar belakang sosial, seperti tukang becak, pelajar sekolah, maupun mahasiswa.

Can Macanan Kaduk terdiri atas atraksi burung Garuda, anak-anak, bela diri tangan kosong, atraksi berpasakangan, Can Macanan, dan atraksi Marlena. Pementasan selalu dimulai saat malam, sekitar pukul sembilan hingga dini hari. Hingga saat ini, sebagian warga lokal yang memiliki hajat pernikahan atau khitanan mengundang kelompok Can Macanan Kaduk untuk menghibur. Praktis kelompok ini akhirnya bersaing dengan hiburan modern macam pentas karaoke dangdut.

Musik Patrol

Di keheningan bulan puasa akan terdengarlah alunan syahdu musik kayu ditabuh oleh pemuda dan anakanak keliling dari desa ke desa untuk membangunkan orang yang akan melaksanakan sahur.

Alat musik ini terbuat dari kayu nangka pilihan untuk mendapatkan suara yang diinginkan. Berawal dari tradisi yang bernama ‘kothekan’ (memukul-mukul kayu dan kentongan untuk membuat bebunyian), alat ini kemudian dinamakan musik kendang patrol dan sudah ada secara turun temurun di masyarakat Jember. Saat ini musik kendang patrol tidak hanya menjadi musik hiburan untuk masyarakat dan wisatawan, namun juga ditampilkan pada acara-acara resmi dan karnaval.

Reog Pandalungan

Reog memang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Namun di Jember, reog juga menemukan rumahnya, terutama di wilayah selatan. Bahkan, di Jember, reog tak hanya dimainkan oleh mereka yang berasal atau memiliki pertalian darah dengan warga Ponorogo.

Bagaimana reog bisa sampai di Jember? Semua berawal dari upaya pemerintah kolonial membawa para kuli perkebunan dari wilayah Mataraman untuk bekerja di Jember. Belanda menjadikan Jember sebagai daerah pemasok hasil perkebunan, mulai dari tembakau hingga gula. Dipisahkan dari kampung halaman, para kuli ini membentuk kelompok-kelompok seni reog sebagai bagian dari penguatan identitas diri. Ada dua kelompok reog tertua di Jember, yakni di Desa Pontang Kecamatan Ambulu dan Desa Kesilir Kecamatan Wuluhan.

Mereka sudah ada sejak tahun 1950-an. Bahkan, ada yang mengatakan, sejak tahun 1920-an. Saat ini, ada 23 kelompok reog di Jember, yang antara lain tersebar di wilayah Jember selatan, seperti Kalisanen, Sidodadi, Pontang, Ambulu, Wuluhan, hingga Kecamatan Kencong. Mereka mengelola kelompok ini dengan swadaya dan kemandirian.

Sulit berharap sepenuhnya dari pemerintah daerah. Untunglah ada Universitas Jember mengisi kekosongan. Di sini, lahir paguyuban seni reog mahasiswa bernama Sardulo Anorogo, yang berarti harimau yang rendah hati. Rektorat juga menyokong kegiatan reog, dengan membuat acara pentas kolosal setiap tahun yang dibarengkan dengan peringatan hari jadi perguruan tinggi itu.

JFC (Jember Fashion Carnival)

Jember Fashion Carnaval atau JFC merupakan event fashion yang melambangkan kreativitas anak muda di Kabupaten Jember. Ide ini digagas pertama kali oleh Dynand Fariz, seorang desainer fashion kelahiran Jember dan dilaksanakan pertama kali pada tanggal 1 Januari 2003.

Awal nya Pada tahun 2011 JFC genap berusia satu dekade (sepuluh tahun) dan kemudian berkembang menjadi event bertaraf nasional bahkan internasional karena memiliki beberapa keunikan antara lain :

Para peserta yang tampil bukanlah seorang desainer, model, maupun penari profesional. Mereka justru datang dari berbagai kalangan seperti pelajar dan mahasiswa, pegawai swasta, duta, bahkan ibu rumah tangga. Peserta yang tampil mendesain sendiri baju rancangannya dengan memanfaatkan bahan bekas pakai atau daur ulang.

Merupakan yang pertama di Indonesia dan belum pernah ada di kota lain, serta tampil di sebuah kota kecil yang relatif jauh dari ibu kota negara maupun ibu kota provinsi.Catwalk terpanjang di Indonesia (3,6 km) dan tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI).

Jumlah fotografer dan jurnalis yang ingin meliput acara ini pun mencapai 2000 orang, meskipun yang mendapat akreditasi resmi dari panitia hanya 200 orang . Dalam JFC, fesyen berpadu dengan kekuatan fisik dan stamina. Betapa tidak, pakaian yang dikenakan para peragawan peragawati bukan sekadar pakaian.

Pakaian adalah medium pesan. Itulah sebabnya kenapa defile-defile dalam JFC memiliki nama. Namun karena mengandung pesan itulah, pakaian yang dikenakan tak jarang ‘menguras energi’. Menguras energi di sini benar-benar dalam arti sebenarnya, karena bobotnya cukup berat dan dipenuhi beraneka ragam aksesori. JFC dilaksanakan setiap tahun pada bulan Agustus.

Egrang Tanoker

Sebuah tempat dimana pertemuan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang (golongan, ras, etnis, bangsa dan kelompok budaya) dikelola untuk saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan, khususnya untuk anak-anak generasi penerus bangsa.

harapan nya dimanapun mereka berada Menjadikan “kawasan Tanoker” dan wilayah Ledokombo ini bukan sekedar sebuah ruang terbatas yang hanya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Ledokombo saja tetapi sebagai “ wilayah untuk semua”. Sebuah tempat dimana pertemuan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang (ras, etnis, bangsa, kelompok , budaya) dikelola untuk saling menguatkan, demi menciptakan “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Demikian artikel mengenai beberapa wisata budaya jember, yang di kenal sebagai bumi pandalungan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA