JEMBER, MEDIAJEMBER.COM — Kepala Kantor Pertanahan (BPN, Red) Jember Dr. Akhyar Tarfi, SST., MH, diwisuda dengan gelar Doktor dari Universitas Syah Kuala Banda Aceh, Selasa, 21 Februari 2024.
Diakui Dr. Akhyar Tarfi, sudah menyelesaikan kuliah S3 di Unsyah saat mendapat tugas menjadi kepala BPN Jember.
Ditengah kesibukannya menjadi kepala BPN Jember, Dr Akhyar Tarfi mampu menyelesaikan kuliahnya di program S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum di Unsyah Kuala Banda Aceh.
Judul disertasinya Konsepsi Pemenuhan Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat yang Terlibat dan Terdampak Konflik di Provinsi Aceh. Putra asli Tanah Rencong ini harus bolak-balik Aceh ke Jember.
Dr Akhyar Tarfi, SSiT., MH menuturkan untuk menyelesaikan kuliah S3 membutuhkan energi besar. Namun, dengan kedisiplinan dan perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya Dr. Akhyar lulus dalam sidang terbuka 8 Desember tahun 2023 di hadapan 9 guru besar bidang hukum di Unsyah.
Dr. Akhyar mampu mempertahankan teorinya di hadapan para promotornya antara lain Prof. Dr. Ilyas, S.H., M. Hum; Dr. Zahratul Idami, S.H., M.Hum; Prof. Dr. Efendi, SH, M,Si. Prof. termasuk Dr. M Gaussyah S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
“Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga saya mampu menyelesaikan kuliah S3 dan Selasa 21 Februari 2024 ini diwisuda,” kata Dr Akhyar Tarfi, SST., MH.
Hasil penelitiannyapun menjadi buku dengan judul Hukum Pertanahan Problematika Kehadiran Negara dalam Pemenuhan Hak Atas Tanah Pasca Perdamaian Helsinki.
Mantan aktivis HMI Unsyah Banda Aceh itu mengaku bimbingan disertasi dilakukan secara on line.
“Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Aries Harianto, S.H.,M.H.,C.Med, dar Fakultas Hukum Universitas Jember yang membantu,” ujar Ketua Divisi Pemukiman dan Lingkungan Hidup ICMI Orda Jember tersebut.
Dia menjelaskan, ada tiga persoalan mendasar yang menjadi pondasi disertasinya. Pertama, tentang apa hakikat pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik GAM – Pemerintah NKRI.
Kedua, bagaimana bentuk pengaturan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
“Yang ketiga, bagaimana konstruksi pengaturan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik,” ujar pria kelahiran 25 Oktober 1978 ini.
Upaya untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut menggunakan tipe penelitian juridis normatif dengan pendekatan yang komprehensif. Kemuduan ditemukan hakikat pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik di Provinsi Aceh.
Disamping itu telah ditemukan pula bentuk pengaturan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik berdasarkan peraturan perundangan.
‘Serta dengan gamblang ditemukan konstruksi hukum yang tepat tentang pengaturan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik,” ujarnya.
Disertasi ini digagas Dr Akhyar untuk menuntaskan pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik di Aceh yang belum terealisasi secara tuntas dan menyeluruh.
“Persoalan ini sangat strategis dalam mewujudkan perdamaian berkelanjutan di Aceh maupun dalam menjaga keutuhan NKRI,” ujarnya.
Kajian ilmiah ini disusun sebagai bentuk tindak lanjut dari sukses story Dr Akhyar dalam membantu menangani pemenuhan hak atas pasca konflik di Aceh.
“Di satu sisi regulasi di Indonesia belum mengatur, namun di sisi lain pemerintah barus melaksanakan komitmennya. Untuk itu kajian ilmiah secara filosofis perlu dilakukan sehingga menjadi landasan justifikasi bagi negara dan rakyat Aceh,” ungkapnya.
Diakuinya, ada problema pasca perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005 di Finlandia antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hingga kini menyisakan persoalan yang bersifat konkrit dan massif.
“Musababnya adalah regulasi sebagai manifestasi political will pemerintah,” terangnya.
Pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik di Aceh belum diatur secara khusus dan konkrit dalam Hukum Pertanahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960) dan peraturan perundangan lainnya sebagai tindaklanjut dari amanat butir 3.2.5 MoU Helsinki.
Kekosongan pengaturan pada gilirannya menjadi kendala yang membuka ruang ketidakpastian dan ketidakadilan dalam upaya mewujudkan hak-hak atas tanah bagi anggota GAM yang terlibat dan terdampak konflik.
Fakta demikian justru sangat tidak menguntungkan bagi proses reintegrasi dan upaya pemulihan berbagai dimensi kehidupan masyarakat paska konflik di Aceh.
Secara konstitusional, kelompok masyarakat yang terlibat dan terdampak konflik di Aceh adalah bagian Warga Negara Indonesia (WNI) yang wajib mendapatkan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasinya oleh pemerintah dengan memanfaatkan sumberdaya sesuai amanat Pasal 28I UUD 1945. (*)